vg

Wednesday, 16 September 2015


ASEMBU MULYA
SATU CERITA BERJUTA CINTA
Oleh: Salsabila Firdausy, 2015

Asembu Mulya, salah satu desa transmigran di Kecamatan Buke, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Desa dimana kami, team KKN PPM UGM 2015 mengukir berbagai kisah dan pengalaman berharga. Bersama Basini, Sapto, Ferry, Imam, Hempi, dan Syaikhu, saya Salsabila Firdausy melangkah perlahan demi sebuah pembelajaran dibalik sebuah pengabdian.


Dinginnya malam 1 Juli kala itu, menyambut kedatangan kami di Desa Asembu Mulya. Konon, Desa Asembu Mulya memiliki arti desa pertahanan kala zaman penjajahan dulu. Desa transmigran yang sudah berdiri sejak 35 tahun yang lalu itu, masih terlihat alami dengan kondisi jalan tanpa aspal dan jalanan yang hanya diterangi pantulan cahaya dari rumah penduduk.
 

Desa Asembu Mulya terdiri dari 3 dusun dengan 8 RT. Jumlah keluarga disini berkisar 250 KK. Desa ini tak cukup padat dengan masih banyaknya ruang pertanian dan perkebunan. Hasil kebun seperti kelapa, jeruk, merica, dan kakau sangat melimpah di desa ini.  Desa yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani ini, sudah beberapa kali memenangkan lomba desa. Mulai dari juara 1 lomba desa tingkat Konawe Selatan di tahun 2006 dan 2012, hingga juaran 2 lomba desa tingkat provinsi di tahun 2006 pula. Menurut cerita masyarakat, kemenangan itu diraih karena warga desanya yang rukun dan damai. Mereka mudah bekerja bersama, membangun Desa Asembu Mulya menjadi lebih baik.

 Di desa ini kami tinggal di rumah Bapak Sudarmadji dan Ibu Hariningsih. Warga desa biasa memanggilnya dengan sebutan Pa Desa dan Bu Desa.  Kami sendiri memanggilnya dengan sebutan Pa We dan Bu We senada dengan panggilan dari cucu-cucu mereka.  Di rumah sederhana ini, kami tinggal bersama, menjadi sebuah keluarga baru, keluarga 2 bulan kami. Di rumah sederhana ini pula, kami belajar banyak hal dari Pa We. Pa We yang sangat bijaksana dan kharismatik dalam memimpin. Sifatnya tersebut membuat Pa We sangat disegani warganya. 

Setiap pagi sebelum ayam jantan berkokok menyambut sang fajar, Fery dan hempi menyapu halaman, Sapto dan Syaikhu menyapu rumah, Imam membakar sampah, sedangkan saya dan Basini mencuci piring dan membantu Ibu memasak. Keceriaan dan kekompakan di pagi hari senantiasa kami jaga. Kami sadar, kedatangan kami di tanah ini adalah untuk belajar bermasyakat, belajar bagaimana mensyukuri kehidupan, dan belajar menghargai orang lain. 
Kami terus melangkah, bergerak, berbaur dengan masyarakat.  Sambutan warga Desa Asembu Mulya terhadap kami sungguh luar biasa. Warga Asembu Mulya sangat baik dan ramah. Berbagai cara kami lakukan agar mampu membaur dengan mereka. Mulai dari bersilahturahmi ke setiap rumah, memasak bersama, senam bersama, memanen hasil kebun bersama, berbincang-bincang, hingga bercanda bersama. Semua itu kami lakukan bersamaan dengan program survey penduduk dan pembuatan peta desa. Alhasil, setiap kami menyusuri jalanan desa, sapaan warga desa bersahutan kami dengar, berbagai makanan dan oleh-oleh dari warga pun sering kami bawa pulang.

Kedekatan kami dengan mereka mambuat berbagai program yang kami siapkan berjalan dengan baik. Para pemuda sangat antusias dengan program pelatihan batok kelapa. Bapak-bapak antusias dengan program kompos, hama dan penyakit, VCO, briket, TOGA, dan biogas. Ibu-ibu sangat antusias dengan program olahan makanan dan nata de coco, sedangkan aparat desa sangat senang dengan program pelatihan komputer, koperasi dan pembenahan administrasi desa.
Sebuah ruang memang tak luput dari budayanya.  Begitu juga di Desa Asembu Mulya. Budaya di Desa Asembu Mulya sangat unik. Budaya disini merupakan akulturasi dari budaya Jawa yang dibawa oleh transmigran Jawa dan budaya suku asli, yaitu suku Tolaki. Di tanah Sulawesi ini, sering kami menjumpai budaya khas Jawa, seperti berjanjen, kenduri, yasinan, sholawatan, pengajian, dan lekton.  Budaya sinonggian dan tari malulo’ khas suku Tolaki tak kalah tenar di tanah ini.

Segala kegiatan kami disini, tak luput dari canda tawa anak-anak. Kepolosan, keluguan, dan keceriaan mereka selalu mengisi hari-hari indah kami. Mandi di Sungai, saling melempar air, bermain di bendungan, bermain di gua, berkeliling dusun, berlari dan bercakap bersama, tak luput dari hari-hari kami. Meski terkadang menjengkelkan, mereka adalah anak-anak yang luar biasa. Semangat menimba ilmu yang besar terpancar dari tingkah laku mereka. Meski fasilitas pendidikan tak sebaik di Pulau Jawa, mereka tetap gigih belajar. Progam TPA, mengajar SD, pelatihan komputer dan pelatihan Bahasa Inggris yang kami adakan pun mereka ikuti dengan antusias. Rasanya ingin kami teriakan pada mereka, “Hai, pejuang Asembu Mulya, mari kita berlari, meski jalan ini penuh duri, panas badai kian menghantui, meski jalan lengang berbatu,cadas mengganggu, berlarilah wahai pejuang Asembu Mulya, berlari, berlari, berlarilah, menggapai cita-mu”

 Senja terus berganti, tak terasa sudah 2 bulan kami menapakan kaki di tanah transmigran ini. Asembu Mulya, desa yang nanti nya akan kami rindukan.  Kebaikan orang-orang di dalamnya, keceriaan anak-anak di dalamnya, Si Cantik Fina, Si Centil Dira, Si Manis Dinda, Si Jelek Fandi, Si Gendhut Tio, Si Baik Wawan, Si Gombal Dhani, Si Pintar Cinta, Si Hitam Arya, Si Lucu Nita, Si Manja Mala, dan segala hal yang ada di dalamnya, pasti akan kami rindukan. 

 Asembu Mulya, 30 Agustus 2015, hari dimana canda menjadi lara dan tawa menjadi tangis. Hari kepergian kami, hari dimana kami harus meninggalkan desa ini dan meninggalkan mereka yang kami sayangi.  Hari dimana kami meninggalkan keluarga 2 bulan kami, Pa We, Bu We, anak-anak, dan masyarakat Desa Asembu Mulya. Kami pandangi mereka satu per satu, kami peluk erat mereka satu per satu. Pandangan dan pelukan hangat, pandangan dan pelukan yang entah kapan bisa kami merasakannya lagi.
Tangis Pa We, Bu We, anak-anak, dan masyarakat mengiringi langkah kami meninggalkan desa ini. Kami hanya mampu membisu, perasaan sedih, sesak, haru, berkecambuk di hati kami. Entah apa yang harus kami katakan. Sekedar berucap maaf dan terima kasih pun kami tak mampu. Kata-kata tertahan di ujung tenggorokan kami beradu dengan air mata yang tak henti-henti nya mengalir. Bayangan kami menerawang jauh, mengingat memori indah di desa ini.

 Perjuangkan kami tampaknya tak pantas disebut dengan sebuah pengabdian.  Apapun itu, Asembu Mulya telah memberikan banyak cinta bagi kami. Sebuah kenangan indah, yang akan merekat erat di hati sanubari kami, hingga nanti.
Ahh Asembu Mulya…
Kucoba bercengkrama lewat syair
Mengungkap hati yang terhalang tabir
Disini namamu akan ku ukir
Di dalam hatiku yang tak mengenal kata akhir

Asembu Mulya…
Karena mu aku mengenal cinta
Cinta yang menghulu hilir hingga buta
tanpa kutahu bentuknya
tapi kini seindah namanya

Ahh Asembu Mulya…
Engkau ukir satu cerita, berjuta cinta…


0 comments:

Post a Comment